Tidak Boleh Pulang

“Kalau gak keluar, gak makan, Mas?” Jawaban si bapak tukang parkir seakan menikam diriku.

Saat itu aku baru keluar dari mobil yang sedang diparkir oleh temenku. Seingatku daerah itu selalu diramaikan oleh mobil-mobil yang parkir. Tetapi, saat itu hanya ada empat mobil plus mobil temenku. Sepi. Senyap.

“Sepi to, Pak?” tanyaku kepada bapak tukang parkir.

“Iya, Mas,” jawabnya. “Sejak ada corona jadi sepi. Jarang orang datang ke sini,” lanjutnya.

Oh iya. Himbauan untuk stay at home makin kencang akhir-akhir ini. Plus penutupan di beberapa jalan. Penyakit ini memang mengerikan. Pemkot sampai merasa perlu melakukan tindakan tertentu agar warga tidak keluar rumah. Disiplin kadang perlu dipaksakan.

Kudekati bapak itu, sementara temanku memesan makanan di warung sebelah sana.

“Biasanya di sini ramai kendaraan parkir kan, Pak?”

“Iya, Mas,” sahutnya sambil mempersilakan aku duduk di sebelahnya.

“Biasanya sampai berapa kendaraan yang parkir di sini, Pak?” tanyaku seraya mengambil sebatang rokok yang disodorkan oleh bapak itu.

“Wah, kalau seharian ya 50an lebih, Mas,” kata bapak itu sementara tangannya menyodorkan korek bernyala. “Tapi akhir-akhir ini 10 saja gak sampai,” sambungnya lagi.

Waduh. Aku langsung membayangkan berapa pendapatannya pada hari-hari belakangan ini. Tidak sampai 10 mobil yang parkir. Parkir satu mobil Rp. 3.000,00, maka kalau hari ini 10 mobil yang parkir, bapak itu hanya menerima…. Terus, bagaimana kehidupannya dan orang-orang yang ditanggungnya?

“Lho, Pak, njenengan tidak tinggal di rumah aja to? Saat-saat seperti ini kan bahaya keluar rumah. Bisa kena corona nanti,” tanyaku sambil mencoba mengalihkan perhatianku sendiri.

Lha kalo gak keluar, gak makan, Mas. Orang-orang seperti saya ini setiap hari harus kerja supaya bisa makan. Kalau gak keluar, mau makan apa anak-anak di rumah? Yang punya uang banyak kan gak kerja berminggu-minggu, masih bisa makan enak, Mas.”

Si bapak lalu bercerita. Biasanya ia bekerja dari pagi sampai malam di tempat itu, bergantian dengan beberapa tukang parkir lain. Tetapi, hari-hari ini ia bekerja hanya sampai sore, karena memang lagi sepi. Ia tahu resiko tertular virus corona. Namun, apakah ia punya pilihan? Jika tidak bekerja, keluarganya tidak bisa makan. Si bapak ini akan terus bekerja, berapa pun yang bisa didapatkan. Banyak pekerja informal lain di daerah itu yang sudah kukut, tutup. Bapak itu menunjuk beberapa warung makan di situ yang sudah tutup.

“Apa bapak tidak berencana untuk pulang aja ke daerah? Sekarang kan di mana-mana memang lagi sepi, Pak. Kalau pulang untuk sementara, mungkin malah bisa berhemat,” aku menyela ceritanya.

“Maunya gitu, Mas. Itu semua yang sudah tidak buka, sudah pulang semua ke daerah mereka”, katanya sambil menunjuk warung-warung dan trotoar. Biasanya ada yang jualan di trotoar.

“Mau pulang, tapi gimana, ya Mas. Sekarang daerah udah melarang kami pulang. Takutnya kami malah membawa virus untuk kampung halaman. Mau pulang tidak boleh. Malah diancam-ancam dan dikata-katai gak punya pengertian. Tapi, mereka para petinggi itu kok ya gak mikir kalau kami di sini gak bisa makan,” keluh bapak itu, lalu menghisap rokok dalam-dalam, seakan hendak mencari kelegaan.

“Daripada dikata-katain, dimasukkan ke karantina lagi, ya sudah…kami di sini aja, Mas. Kalau ada yang bisa dimakan ya dimakan, kalau gak ada, ya sudahlah,” lanjutnya disusul tertawa perlahan. Suara tertawa itu kurasakan pahit.

Keluhannya membuatku termangu. Memangnya, apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang kecil seperti mereka?

Leave a comment